Senin, 05 Mei 2014

JURNAL



Perlindungan Hukum pada Merek yang Terdaftar
Nur Hidayati
(Staf pengajar pada jurusan teknik mesin, politeknik negeri semarang)
III  Pemboncengan Merek ( Passsing off)
Pelanggaran terhadap hak merek motivasinya adalah untuk mendapatkan keuntungan secara mudah, dengan mencoba, meniru, atau memalsu merek-merek yang sudah terkenal di masyarakat. Dari tindakan tersebut maka masyarakat dirugikan, baik itu produsen maupun konsumennya, selain itu Negara dirugikan.Menurut M. Djumhana dan Djubaedillah (1997), dari setiap UU yang mengantur merek ditetapkan ketentuan yang mengatur mengenai sanksi-sanksi untuk pelanggar hak merek orang lain. Ketentuan yang mengatur dapat bersifat pidana, perdata, maupun administrasi, bahkan bisa pula tindakan pengcegahan lain yang bersifat non yuridis, seperti :
1.      Persaingan tidak jujur (unfair competition)
            Persaingan tidak jujur dengan sendirinya bersifat melawan hukum, karena UU dan hukum memberikan perlindungan terhadap pergaulan yang tertib dalam dunia usaha.
2.      Penanganan melalui hukum perdata.
Pemakaian merek tanpa hak, dapat digugat berdasarkan membuatan melanggar hukum (Pasal 1365 KUH Perdana).
3.      Penanganan  melalui hokum pidana.
            Sanksi pidana terhadap tindakan yang melanggar hak seseorang dibidang merek selain diatur khusus dalam ketentuan sanksi peraturan perundang-undangan merek itu sendiri, juga terdapat ketentuan hukum KUH pidana.
4.      Penanganan melalui administrasi Negara.
Bila terjadi pelanggaran terhadap hak intelektual, Negara bisa juga menggunakan kekuasaannya untuk melindungi pemilik hak yang sah.Pemboncengan merek dalam common law system dikenal dengan istilah passing off. Passing off memiliki pengertian bahwa perlindungan hokum diberikan terhadap suatu barang/jasa karena nilai dari produk tersebut telah mempunyai reputasi.
Passing off mencegah pihak lain untuk melakukan beberapa hal, yaitu :
a.       Menyajikan barang atau jasa seolah-olah barang atau jasa tersebut memiliki orang lain; dan
b.      Menjalankan produk atau jasanya seolah-olah mempunyai hubungan dengan barang atau jasa milik orang lain.
Elemen yang terdapat pada tindakan passing off sebagaimana yang dinyatakan dalam elemen pertama adalah adanya reputasi yang terdapat pada pelaku usaha yaitu apabila seorang pelaku usaha memiliki reputasi bisnis yang baik di mata public dan juga usahanya tersebut cukup dikenal oleh umum. Pada elemen kedua, adanya misrepresentasi dalam hal ini dikenal merek yang dimiliki oleh pelaku usaha tersebut, maka apabila ada pelaku usaha lain mendompleng merek yang sama public akan dapat dengan mudah terkecoh (misleading) atau terjadi kebingungan (confusion) dalam memiliih produk yang dinginkan. Selanjutnya elemen ketiga yaitu terdapatnya kerugian yang timbul akibat adanya tindakan pendomplengan atau pemboncengan yang dilakukan oleh pengusaha yang dengan itikad tidak baik menggunakan merek yang mirip atau serupa dengan merek yang telah dikenal tersebut sehingga terjadi kekeliruan memilih produk oleh masyarakat ( public mis leading).
Dalam sistem hukum common law, pemboncengan merek (passing off) ini suatu tindakan persaingan curang(unfair competition). Tindakan ini mengakibatkan pihak  lain selaku pemilik merek yang telah mendaftarkan mereknya dengan itikad baik mengalami kerugian dengan adanya pihak yang secara curang membonceng atau mendompleng merek miliknya untuk mendapatkan keuntungan financial.Terhadap adanya tindakan passing off ini ketentuan dasar yang di langgar yaitu Pasal 3 pasal 4 dan pasal 5 UU merek. Selain ketentuan khusus mengenai merek terhadap tindakan passing off juga dapat dikenakan ketentuan pidana, karena tindakan passing off ini sarat unsur perbuatan curang.
Daftar Pustaka          
Adisumarto. 1989, Hak Milik Intelektual Khususnya Paten dan Merek Hak Milik Perindustrian ( Industri Property ), Jakarta: Akademika Pressindo
Etty Susilowati. 2010, Bunga Rampai Hak Kekayaan Intelektual, Semarang: Undip
Ferry Susanto Limbang.2011,Perlindungan Hukum Pada Merek dalam Http://repository.usu.ac.id/handle /123456789/4855, diunduh 17-02-2011.
Harsono Adisumarto. 1989, Hak Milik Intelektual Khususnya Paten dan Merek Hak Milik Perindustrian ( Industri Property ), Jakarta: Akademika Pressindo
Insan Budi Maulana. 1997, “Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten dan Cipta, Bandung: Citra Adry Bakti.
---------- dan Ridwan Khairandy. 2000, Kapita Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: Yayasan Klinik HAKI.
Muhamad Djumhana dan Djubaedillah. 1997, “Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Onti-Rug.2008, Tinjauan Yuridis Terhadap Kasus Pemboncengan Ketenaran Merek Asing Terkenal Untuk Barang Yang Tidak Sejenis(Kasus Merek Intel Corporation Lawan Intel Jeans)Dalam http://lawskripsi.com .published diundah 28-01-2011.
Richard Burton Simatupang. 2007, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Soesilo, R. 1997, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Semarang: Aneka Ilmu.
Subekti, R. dan R. Tjitrosudbio. 1992, , Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya Paramita.
Uu No. 15 Tahun 2001 Tentang Undang-undang Merek.


Nama Kelompok :
1)      Nur Azmi Lubis        ( 25212450 )
2)      Sahfira Mahsita         ( 26212775 )
3)      Siti Aisyah                  ( 27212038 )
4)      Vera Dwi Yulianti     ( 27212559 )
Sumber : http://www.polines.ac.id/ragam/index_files/jurnalragam/paper_6%20des_2011.pdf

JURNAL



WUJUD GANTI RUGI MENURUT

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
Oleh: M.Tjoanda

ABSTRACT

Agreement is a legal relationship between two people or more, which creates certain rights and obligations. In terms of the debtor or the debt does not meet its obligations or does not meet its obligations as they should and not fulfilled that obligation because there is an element of him, then the lender has the right to demand restitution, This is what this writing melatarbelakngi How problems with the form of compensation according to the Book of Law Civil Law? The results obtained that the compensation as a result of default set out in the Book of Civil Law Act, may also apply for compensation as a result of an unlawful act. Given the form of material loss and imateriil, then a form of compensation can be either kind (some money) or innatura.

A. LATAR BELAKANG.
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkana mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berutang. Tuntutan atau kewajiban tersebut lazimnya disebut sebagai prestasi. Pasal 1234 KUH Perdata :
“ Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”
Menurut Pasal 1234 KUHPerdata prestasi itu dibedakan atas :
1. Memberikan sesuatu
2. Berbuat sesuatu
3. Tidak berbuat sesuatu
 Dalam hal debitur atau si berutang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya dan tidak dipenuhinya kewajiban  itu karena ada unsur salah padanya, maka ada akibat-akibat hukum yang bisa menimpa dirinya, yaitu :
1)      Pertama-tama, sebagai yang disebutkan dalam pasal 1236 KUHPerdata : “ si berutang adalah wajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si berpiutang, apabia ia telah membawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan kebendannya, atau telah tidak merawat sepatutnya guna menyelamatkannya”
dan 1243 KUH Perdata :
“ Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.”
2)      , pasal 1237 KUHPerdata mengatakan:
“ dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang.”
maka sejak debitur lalai, maka resiko atas obyek perikatan menjadi tanggungan debitur. 
3)      bahwa kalau perjanjian itu berupa perjanjian timbal balik, maka berdasarkan pasal 1266 KUHPerdata : “ syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.”
B. PEMBAHASAN
1.      Pengertian Kerugian
Pengertian kerugian menurut R. Setiawan, adalah kerugian nyata yang terjadi karena wanprestasi. Adapun besarnya kerugian ditentukan dengan mem-bandingkan keadaan kekayaan setelah wanprestasi dengan keadaan jika sekiranya tidak terjadi wanprestasi.Pengertian kerugian menurut Yahya Harahap, ganti rugi ialah “kerugian nyataatau fietelijke nadeel yang ditimbulkan perbuatan wanprestasi. Kerugian nyata ini ditentukan oleh suatu perbandingan keadaan yang tidak dilakukan oleh pihak debitur.Dikatakan oleh Abdulkadir Muhammad, bahwa pasal 1243 KUH Perdata sampai dengan pasal 1248 KUHPerdata merupakan pembatasan-pembatasan yang sifatnya sebagai perlindungan undang-undang terhadap debitur dari perbuatan sewenang-wenang pihak kreditur sebagai akibat wanprestasi.
Pengertian kerugian yang lebih luas dikemukakan oleh Mr. J. H. Nieuwenhuis sebagaimana yang diterjemahkan oleh Djasadin Saragih, pengertian kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu, yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak yang lain4. Yang dimaksud dengan pelanggaran norma oleh Nieuwenhuis di sini adalah berupa wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.
Kerugian adalah selisih (yang merugikan) antara keadaan yang timbul sebagai akibat pelanggaran norma, dan situasi yang seyogyanya akan timbul anadaikata pelanggaran norma tersebut tidak terjadi. Lebih lanjut Nieuwenhuis mengatakan bahwa kita harus hati-hati agar tidak melukiskan kerugian sebagai perbedaan antara situasi sebelum dan setelah wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum.rumusan mengenai kerugian adalah situasi berkurangnya harta kekayaan salah satu pihak yang ditimbulkan dari suatu perikatan (baik melalui perjanjian maupun melalui undang-undang) dikarenakan pelanggaran norma oleh pihak lain.

2. Unsur-Unsur Ganti Rugi
Dalam pasal 1246 KUHPerdata menyebutkan :
“ biaya, rugi dan bunga yang oleh si berpiutang boleh dituntut akan penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang telah dideritanya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya, dengan tak mengurangi pengecualian-pengecualian serta perubahan-perubahan yang akan disebut di bawah ini.”
Menurut Abdulkadir Muhammad, dari pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dapat ditarik unsur-unsur ganti rugi adalah sebagai berikut :
a)      Ongkos-ongkos atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan (cost), misalnya ongkos cetak, biaya meterai, biaya iklan.
b)       Kerugian karena kerusakan, kehilangan ata barng kepunyaan kreditur akibat kelalaian debitur (damages). Kerugian di sini adalah yang sungguh-sungguh diderita, misalnya busuknya buah-buahan karena keterlambatan penyerahan, ambruknya sebuah rumah karena salah konstruksi sehingga merusakkan perabot rumah tangga, lenyapnya barang karena terbakar.
c)      Bunga atau keuntungan yang diharapkan (interest). Karena debitur lalai, kreditur kehilangan keutungan yang diharapkannya. Misalnya A akan menerima beras sekian ton dengna harga pembelian Rp. 250,00 per kg. Sebelum beras diterima, kemudian A menawarkan lagi kepada C dengan harga Rp. 275,00 per kg. Setelah perjanjian dibuat, ternyata beras yang diharapkan diterima pada waktunya tidak dikirim oleh penjualnya. Di sini A kehilangan keutungan yang diharapkan Rp. 25,00 per kg.
Purwahid Patrik lebih memperinci lagi unsur-unsur kerugian. Menurut Patrik, kerugian terdiri dari dua unsur :
a. Kerugian yang nyata diderita (damnum emergens) meliputi biaya dan rugi
b. Keutungan yang tidak peroleh (lucrum cessans) meliputi bunga.
Satrio melihat bahwa unsur-unsur ganti rugi adalah :
a)      Sebagai pengganti daripada kewajiban prestasi perikatannya; untuk mudahnya dapat kita sebut “prestasi pokok” perikatannya, yaitu apa yang ditentukan dalam perikatan yang bersangkutan, atau
b)       Sebagian dari kewajiban perikatan pokoknya, seperti kalau ada prestasi yang tidak sebagaimana mestinya, tetapi kreditur mau menerimanya dengan disertai penggantian kerugian, sudah tentu dengan didahului protes atau disertai ganti rugi atas dasar cacat tersembunyi ;
c)       Sebagai pengganti atas kerugian yang diderita oleh kreditur oleh karena keterlambatan prestasi dari kreditur, jadi suatu ganti rugi yang dituntut oleh kreditur di samping kewajiban perikatannya;
d)     Kedua-duanya sekaligus; jadi sini dituntut baik pengganti kewajiban prestasi pokok perikatannya maupun ganti rugi keterlambatannya.
3. Sebab-Sebab Kerugian
Dari pengertian kerugian pada sub bab sebelumnya dapat kita lihat bahwa kerugian adalah suatu pengertian kausal, yakni berkurangnya harta kekayaan (perubahan keadaan berkurangnya harta kekayaan) dan diasumsikan adanya suatu peristiwa yang menimbulkan perubahan tersebut. Syarat untuk menggeserkan kerugian itu kepada pihak lain oleh pihak yang dirugikan adalah bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh pelanggaran suatu norma oleh pihak lain tersebut.
Menurut Nurhayati Abas, ganti kerugian harus memenuhi beberapa sebab:
a.       Harus ada hubungan kausal
b.      Harus ada adequate
Kreditur mempunyai kewajiban untuk berusaha membayar kerugian yang timbul sampai batas-batas yang patut. Kalau kreditur tidak berusaha membatasi kerugian itu makna akibat dari kelalaiannya tidak dapat dibebankan kepada debitur. Ketentuan ini juga berkaitan dengan prinsip dapat digugat dan hubungan adequat. 
a.Hubungan Sine Qua Non (Von Buri)
Syarat pertama untuk membebankan kerugian pada orang lain adalah bahwa telah terjadi pelanggaran norma yang dapat dianggap sebagai condicio sine qua non kerugian tersebut. Menurut teori ini suatu akibat ditimbulkan oleh berbagai peristiwa yang tidak dapat ditiadakan  untuk adanaya akibat tersebut.
Nieuwenhuis memberikan contoh menarik untuk ini:
C menyewakan sejumlah kamar kepada beberapa orang, termasuk A dan B. Kamar-kamar tersebut terletak di atas ruang konfeksi milik C. Menurut kontrak sewa, para penyewa dilarang menggunakan alat masak listrik. Dalam urutan kronologis terjadi yang berikut ini:
a.       A menghubungkan alat listrik pemasak air dengan jaringan listrik.
b.      B menggunakan alat listrik pemanas air dalam kamar mandi, yang menyerap tenaga listrik yang sama.
c.       Aliran listrik terhenti dan mesin-mesin jahit listrik di ruang konfeksi C terhenti.
Kalau “ penyebab “ dirumuskan sebagai tiap peristiwa, yang tanpa peristiwa tersebut peristiwa lain tidak akan terjadi, maka B juga merupakan “ penyebab “ berhentinya mesin-mesin jahit tersebut. Andai kata B tidak menggunakan alat pemanas air di kamar mandi, maka tidak akan ada kelebihan beban listrik dan mesin-mesin jahit itu tidak akan berhenti. Jadi, meskipun peristiwa A dan B kedua-duanya merupakan conditio sine qua non untuk peristiwa C, namun ahli hukum hanya mengkuakifikasikan perbuatan A sebagai penyebab berhentinya mesin-mesin jahit tersebut dan kerugian yang ditimbulkan, karena baginya yang penting adalah menetapkan apakah kerugian dapat dibebankan pada orang lain daripada yang dirugikan.
Karena ini hanya mungkin jika kerugian adalah akibat pelanggaran norma oleh orang lain itu, maka ahli hukum hanya menaruh minat akan syarat-syarat untuk timbulnya kerugian dimana terdapat pula pelanggaran norma hukum.
b.Hubungan Adequat (Von Kries)
            Kerugian adalah akibat adequat pelanggaran norma apabila pelanggaran norma demikian meningkatkan kemungkinan untuk timbulnya kerugian demikian. Inilah inti ajaran penyebab yang adequat. Teori ini berpendapat bahwa suatu syarat merupakan sebab, jika menurut sifatnya pada umumnya sanggup untuk menimbulkan akibat. Selanjutnya Hoge Raad memberikan perumusan, bahwa suatu perbuatan merupakan sebab jika menurut pengalaman dapat duharapkan atau diduga akan terjadinya akibat yang bersangkutan. Ajaran ini mencampurkan adukan antara causalitet dan pertanggungan jawaban.
Hoge Raad menganut ajaran adequate. Hal ini ternyata dari arrest-nya tanggal 18 November 1927, dimana dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan akibat yang langsung dan seketika adalah akibat yang menurut aturan-aturan pengalaman dapat diharapkan terjadi.
4. Wujud Ganti Rugi
Pada umumnya ganti rugi diperhitungkan dalam sejumlah uang tertentu. Hoge Raad mahalan berpendapat, bahwa pergantian” ongkos , kerugian, dan bunga”. Namun jangan menjadi rancu; kreditur bisa saja menerima penggantian in natura dan membebaskan debitur. Yang tidak dapat adalah bahwa debitur menuntut kreditur agar menerima ganti rugi dalam wujud lain dari pada sejumlah uang.
Pendapat seperti itu dengan tegas dikemukakan, ketika Hoge Raad menghadapi masalah tuntutan ganti rugi dari seorang yang minta kepada toko perhiasan, agar perhiasan yang ia beli daripadanya diperbaiki, tetapi perbaikan itu ternyata malah menimbulkan kerusakan dan kerugian lebih parah lagi. Hof memutuskan bahwa pemilik toko perhiasan harus mengganti kerugian, dengan cara mengembalikan harga yang dulu dibayar oleh pembeli dan pembeli mengembalikan perhiasannya. Cara perhitungan ganti rugi seperti ini tidak dibenarkan oleh Hoge Raad. Ganti rugi harus diwujudkan dalam sejumlah uang. Pitlo berpendapat bahwa undangundang kita tidak memberikan dasar yang cukup kuat untuk kita katakan, bahwa tuntutan ganti rugi hanya dapat dikemukakan dalam sejumlah uang tertentu. Anehnya, kalau ganti rugi itu berkaitan dengan onrechtmatige daad, maka syarat “dalam wujud sejumlah uang” tidak berlaku, karena Hoge Raad dalam kasus seperti itu membenarkan tuntutan ganti rugi dalam wujud lain.

Walaupun demikian hal itu tidak berarti, bahwa untuk setiap tuntutan ganti rugi kreditur harus membuktikan adanya kepentingan yang mempunyai nilai uang. Hal itu akan tampak sekali pada perikatan untuk tidak melakukan sesuatu, dimana pelanggarannya biasanya menimbulkan kerugian yang sebenarnya tidak dapat dinilaidengan uang.
Jadi yang dimaksud   bukannya sifat dari kepentingan yang dirugikan, tetapi apakah yang dirugikan bisa dipulihkan dengan pembayaran ganti rugi sejumlah uang. Kalau bisa maka hal itu berarti, bahwa kerugian itu bisa dinilai dengan uang. Untungnya pengadilan dalam hal ini tidak mengambil sikap yang kaku; rasa sakit bisa dihilangkan atau dikurangi dengan pemberian obat (yang dibayar dengan sejumlah uang), kebutaan dibantu dengan seorang penuntun (yang harus dibayar secara berkala), kenikmatan estetika bisa diganti dengan kenikmatan sejenis yang lain (yang harus dibeli atau dibayar dengan sejumlah uang). Konsekuensinya, Hakim tidak berhak menetapkan ganti rugi sejumlah uang tertentu atas kerugian, kalau bagaimanapun dengan uang itu (kerugian) tidak akan dapat dikurangi atau diperbaiki, kecuali sudah tentu kalau undang-undang sendiri membolehkan hal seperti itu.
5.   Bentuk-Bentuk Kerugian
Bentuk-bentuk kerugian dapat kita bedakan atas dua bentuk yakni :
a.  Kerugian materiil
b.  Kerugian immateriil
Undang-undang hanya mengatur penggantian kerugian yang bersifat materiil. Kemungkinan terjadi bahwa kerugian itu menimbulkan kerugian yang immateriil, tidak berwujud, moril, idiil, tidak dapat dinilai dengan uang, tidak ekonomis, yaitu berupa sakitnya badan, penderitaan batin, rasa takut, dan sebagainya.
                          Sulit rasanya menggambarkan hakekat dan takaran obyektif dan konkrit sesuatu kerugian immateriil. Misalnya: bagaimana mengganti kerugian penderitaan jiwa. Si A berjanji kepada si B untuk menjual cincin berlian sekian karat. Ternyata berlian itu palsu yang mengakibatkan kegoncangan dan penderitaan batin bagi si B. Bagaimana memperhitungkan kerugian penderitaan batin dimaksud? Sekalipun memang benar menentukan hakekat dan besarnya kerugian non-ekonomis, ganti rugi terhadap hal ini pun dapat dituntut. Penggantiannya.Dialihkan kepada suatu perhitungan yang berupa “pemulihan”. Biaya pemulihan inilah yang diperhitungkan sebagai ganti rugi yang dapat dikabulkan oleh hakim.
                     Seperti dalam contoh di atas, tentu tidak dapat diganti kegoncangan jiwa yang diderita oleh si pembeli tersebut. Tetapi debitur dapat “dibebankan” sejumlah biaya pengobatan rehabilitasi. Misalnya ongkos dokter dan biaya sanatorium. Sampai benar-benar si kreditur itu pulih kembali. Atau kalau kita ambil kecelakaan yang semakin merajalela di jalan raya. Karena kesalahan dan  kecerobohan , A menabrak  B sehingga kakinya harus diamputasi. Tak mungkin debitur mesti mengganti kaki yang dipotong itu. Bagaimana mengherstel kaki yang sudah dipotong. Yang rasional ialah sejumlah ganti rugi kebendaan berupa uang. Ini sesuai pula dengan ketentuan pasal 1371 KUHPerdata yang menyatakan : cacat atau puntung pada bagian badan / tubuh yang dilakukan dengan “sengaja” atau oleh karena “kurang hati-hati”, memberi hak kepada orang itu menuntut “bayaran” diluar biaya pengobatan. Dari pasal ini dapat ditarik kesimpulan si korban dapat menuntut ganti rugi “kebendaan” atau kerugian yang non-ekonomis, yang terdiri dari :
-  sejumlah biaya pengobatan ;
-  dan sejumlah uang bayaran sesuai dengan keadaan cacat yang diderita.
Mengenai ukuran uang bayaran cacat di luar pengobatan tadi, dinilai atas dasar “kedudukan dan kemampuan” kedua belah pihak, sambil memperhatikan hal ihwal kejadian itu sendiri.
Akan tetapi tidak setiap kerugian ekonomis mesti diganti dengan suatu yang bersifat kebendaan yang bernilai uang. Malah kadang-kadang lebih tepat diganti dengan hal-hal yang bersifat non-ekonomis pula. Umpamanya “hak perseorangan” (persoonlijkerechten) : integritas pribadi, kebebasan pribadi, memulihkan nama baik dan sebagainya. Dalam hal ini pemulihan atau rehabilitasi hak asasi perseorangan tadi, jauh lebih efektif dari pada penilaian ganti rugi uang.
Namun di luar hal-hal yang tersebut tadi biasanya ganti rugi non-ekonomis lebih sempurna bila diganti dengan sejumlah uang sebagai alat rehabilitasinya. Asal benar-benar jumlah ganti rugi tadi “efektif” banyaknya sesuai dengan perhitungan yang memungkinkan tercapainya hasil pemulihan yang mendekati keadaan semula. Misalnya pengobatan sanatorium disamping biaya pemulihan dan kehidupan selanjutnya, haruslah benar-benar efektif nilainya (effectieve waarde).


C.     P E N U T U P
Ganti rugi sebagai akibat pelanggaran norma, dapat disebabkan karena wanprestasi yang merupakan perikatan bersumber perjanjian dan perbuatan melawan hukum yang merupakan perikatan bersumber undang-undang. Ganti rugi sebagai akibat wanprestasi yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dapat juga diberlakukan bagi ganti rugi sebagai akibat perbuatan melawan hukum. Mengingat adanya bentuk kerugian materiil dan imateriil, maka wujud ganti rugi dapat berupa natura (sejumlah uang) maupun innatura.

DAFTAR PUSTAKA
Setiawan R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1977.
Harahap M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986.
Meliala Djaja S., Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum
Perikatan, Nuansa Aulia, Bandung, 2007.
Muhammad Abdulkadir, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982.
Nieuwenhuis J.H., terjemahan Djasadin Saragih, Pokok-Pokok Hukum Perikatan,
Airlangga University Press, Surabaya, 1985.
Patrik Purwahid, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari
Perjanjian dan Dari Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung, 1994
Satrio J., Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), Alumni, Bandung, 1999


Nama Kelompok :
1)      Nur Azmi Lubis        ( 25212450 )
2)      Sahfira Mahsita         ( 26212775 )
3)      Siti Aisyah                  ( 27212038 )
4)      Vera Dwi Yulianti     ( 27212559 )