Perdagangan
global mungkin akan menjadi dambaan sebagian besar orang seandainya saja ia
bisa memberikan kesempatan kepada semua bangsa untuk makmur, membangun secara
adil dan saling menguntungkan. (seorang aktivis India, Anup Shah)
Globalisasi menjadi semangat kehidupan sosial yang
kerap diangkat sebagai latar belakang kemajuan. Globalisasi dan kemajuan
menjadi dua frasa yang identik, diangkat dalam pidato para politisi, pejabat
negara, karya tulis ilmiah, proyek pembangunan dan sebagainya. Globalisasi
sesungguhnya merupakan suatu bentuk perluasan hubungan antar bangsa-bangsa di
dunia dalam berbagai aspek, seperti ekonomi politik, pendidikan, kebudayaan,
bahkan pertahanan keamanan (militer).
Globalisasi berangkat dari kata ‘global’ yang
berarti dunia. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Offline) memberikan definisi
globalisasi sebagai proses masuknya ke ruang lingkup dunia. Globalisasi dalam
konotasi positif nampaknya menjanjikan suatu hubungan antar bangsa-bangsa yang
membawa kemakmuran untuk seluruh warga dunia.
Pada dasarnya, globalisasi secara an sich merupakan konsep yang netral.
Motif globalisasi yang menentukan kepentingan globalisasi dan
praktek-prakteknya. Sisi kajian mendekati globalisasi adalah ekonomi politik
sebagai pondasi suatu sistem sosial masyarakat. Apalagi, globalisasi memang
didorong oleh motif ekonomi dalam bentuk kegiatan perdagangan. Ada keinginan
mengintegrasikan (penyatuan) kegiatan perdagangan dengan semangat kompetisi
bebas dan “sehat”.
Kedekatan globalisasi dengan kajian ekonomi dapat
dilacak sejak munculnya mazhab merkantilisme (perdagangan) pada abad ke-17 yang
berkembang pesat di Eropa Barat. Adanya surplus hasil pertanian memungkinkan
lahirnya perdagangan. Menurut mazhab ini, tiap negara yang berkeinginan untuk
maju harus melakukan perdagangan dengan negara lain. (Deliarnov, 2003: 19) Pada
pedagang yang berprinsip “beli murah, jual mahal” ini menangguk keuntungan yang
besar sehingga dapat bertransformasi menjadi pemilik modal yang mengembangkan
industri (kapitalisme).
Perkembangan kapitalisme lebih lanjut diperkuat
oleh mazhab fisiokratis dengan doktrin laissez
faire-laissez passer, yang berarti “biarkan semua terjadi, biarkan semua
berlalu”. Kaum fisiokratis juga berpandangan sumber kekayaan adalah sumber daya
alam yang lebih penting ketimbang perdagangan. Perkembangan industri di Inggris
sejak abad 17 membutuhkan pasar dan bahan baku (sumber daya alam). (Deliarnov,
2003: 20)
Pemikir ekonomi klasik, Adam Smith, mengembangkan
doktrin liberalisme ekonomi. Smith sangat mendukung motto laissez faire-laissez passer, yang
menghendaki campur tangan seminimal mungkin dalam perekonomian. Biarkan saja
ekonomi berjalan apa adanya, akan ada invisible
hands (tangan-tangan tak kentara) yang mengatur ekonomi pada titik keseimbangan.
(Deliarnov, 2003: 32) Adam Smith menganjurkan mekanisme pasar bebas sebagai
jalan untuk menuju kemakmuran masyarakat. Olehnya, segala hambatan perdagangan
harus disingkirkan, termasuk hambatan tarif. Pada abad 18 ketika Adam Smith
mengembangkan doktrinnya, kapitalisme sedang berkembang pesat di Eropa,
khususnya Inggris. Industri-industri bermunculan, buruh-buruh tak kenal jenis
kelamin (bahkan anak-anak) bekerja keras utamanya di sektor tekstil dan
pertambangan batu bara, kapal-kapal menjelajahi bumi mencari pasar-pasar baru
dan sumber-sumber bahan mentah baru. Bahkan, pemilik modal (kapitalis) tak
segan-segan membantu dan mendanai penaklukan-penaklukan (kolonialisme) suatu
negeri di Asia-Afrika. Negeri-negeri jajahan sebagai pasar dan sumber bahan baku
murah.
http://9triliun.com/artikel/434/globalisasi-ekonomi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar